Friday 26 June 2020

After Covid 19: Growth or Depression

MAJALAH ICT – Jakarta. Indonesia Economic Forum bersama Synthesis, Orbit Future Academy dan Chairos menggelar Webinar Series bertema “After Covid 19: Growth or Depression” dengan menghadirkan pembicara utama Prof. Kishore Mahbubani, Senior Fellow di Asia Research Institute yang juga mantan diplomat Singapura dan mantan Dekan Lee Kuan Yew School of Public Policy di National University of Singapore dan pembicara lainnya, Sumit Dutta, Presiden Direktur PT Bank HSBC Indonesia. Diskusi dalam webinar ini dipandu oleh Shoeb Kagda, Founder dan CEO Indonesia Economic Forum.

Melalui diskusi tersebut, para pembicara memaparkan pandangannya terkait tatanan dunia baru setelah pandemi Covid-19 dan dampak perang dagang Amerika Serikat dan China terhadap negara-negara Asia dan negara-negara lainnya. Topik lain yang juga dibahas adalah bagaimana negara berkembang di Asia Tenggara seperti Indonesia bisa memanfaatkan situasi ini untuk meningkatkan perekonomiannya. Apakah China mampu mengalahkan Amerika Serikat dan akankah China akhirnya menjadi mitra datang utama negara-negara Asia menggantikan Amerika Serikat?

Dalam paparannya, Prof. Kishore Mahbubani menegaskan bahwa pemenang perang dagang Amerika Serikat-China akan terlihat di era pandemi Covid-19. Mengingat, pandemi ini telah meluluhlantakan perekonomian kedua negara tersebut. Kedua negara akan sama-sama mengalami tekanan structural yang dalam. Di satu sisi, keduanya masih memiliki tingkat ketergantungan yang tinggi satu sama lain, sehingga sulit terjadi decoupling di antara kedua negara.

Untuk memahami mana yang lebih adidaya di antara kedua negara tersebut, nampaknya idiom lama “the enemy of my enemy is my friend”, dalam hal ini Covid-19 bisa menjadi faktor penentu. Negara yang bisa “menaklukan” Covid-19, menanganinya dengan baik akan keluar sebagai pemenang. Dan sebagaimana aturan lama tentang konflik geo politik yang sudah berlaku selama 2.000 tahun belakangan katakan: ketika satu pihak melampaui pihak lain sebagai yang paling adidaya, ia akan menekan pihak yang telah ia lampaui.

Ini adalah zero sum game, dimana pemenang bisa mengambil semuanya. Sebagai ilustrasi, jika semua negara di Asia akhirnya memilih teknologi 5G milik Huawei, otomatis China akan menggeser peran AS sebagai mitra dadang terbesar negara-negara Asia. Poin lain yang juga disinggung adalah, Amerika Serikat-China juga terlibat konflik di Laut China Selatan. Setidaknya saat ini ada empat negara Asia Tenggara yang bersitengang dengan China terkait kasus ini, Vietman, Filipina, Brunai Darussalam dan Malaysia. Indonesia belakangan juga bersitegang terkait kasus yang sama.

“Akankah negara-negara Asia Tenggara bersatu melawan China yang dianggap terlampaui adidaya atas klaimnya terhadap Laut China Selatan? Akankah Amerika Serikat memihat negara-negara Asia Tenggara dan bersekutu untuk melawan China?,” kata Prof. Kishore Mahbubani.

Sementara Sumit Dutta menggaris bahawi adanya perubahan trend investasi sebelum dan sesudah pandemic Covid-19. Di era sebelum pandmi, aktiviitas manufaktur terjadi di negara-negara berkembang dimana mereka mengekspor barang jadi ke negara-negara maju. Setidaknya dalam 7 tahun terakhir, aliran investasi dari negara-negara seperti China, Jepang dan Korea dan Amerika Serikat membanjiri negara-negara di Asia termasuk Indonesia.

Negera-negara tersebut merupakan investor utama dan mereka menyimpan dana yang besar. China sendiri lewat mega proyek Belt and Roadnya sudah mengalirkan investasi tidak hanya ke negara-negara di Asia, namun juga negara-negara Afrika. Ini menjadi kesempatan bagi negara seperti Indonesia untuk bersikap, akankah kita memihak China dan memanfaatkan dana investasi mereka? Atau sebalinya kita berpihat ke Amerika Serikat?

“Di era post Covid-19, gerakan nasionalisme dan anti globalisasi makin marak di berbagai belahan pasar, misalnya Amerika Serikat dengan slogannya ‘make US great again’. Namun dalam perspektif bisnis, perusahaan akan tetap berjalan berdasarkan nalar bisnis, yakni mencari pendapatan, mencari pasar baru jika diperlukan misalnya saat pasar sudah jenuh, serta memindahkan fasilitas produksinya ke negara dengan biaya produksi terendah. Meskipun faktor geo politik memainkan peranannya, aktivitas bisnis akan tetap berjalan dengan logika pasar,” kata dia.

Ditambahkan, setiap perusahaan saat ini sedang menerapkan strategi China plus one, yang artinya ia kan mencari titik keseimbangan produksi yang baru, melihat peluang di negara Asia Tenggara lainnya termasuk Indonesia untuk dijadikan basis produksi. Mengapa investasi bergerak kea rah Vietman dan Filipina, tidak ke Indonesia? Jawabannya adalah karena regulasi yang kompleks di Indonesia. Upaya pemerintah untuk segera mengesahkan omnibus law dan meningkatkan EoDB diharapkan akan segera membuahkan hasil.

“Pertanyaan yang mendasar: Apakah Indonesia benar-benar mendorong aktivitas investasi asing? Ya dan Tidak. Pada level presiden, menteri pak Luhut dan pak Mahendra iya, tapi di level kedua dan ketiga saya rasa belum. Mereka perlu menunjukan upaya bahwa Indonesia benar-benar sipa menjadi rumah bagi investasi asing yang berkelanjutan seperti Vietnam,” kata Sumit Dutta, Presiden Direktur PT Bank HSBC Indonesia.

 

Loading...



No comments:

Post a Comment