Monday 28 January 2019

Perlunya Pemahaman P3SPS untuk Minimalisir “Blur” dalam Tayangan

MAJALAH ICT – Jakarta. Komisioner Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) Pusat, Harldy Stefano menegaskan, kebijakan bluring atau menyamarkan gambar dalam tayangan bukan karena dorongan dari pihaknya. Penyamaran gambar pada sebuah adegan seringkali terjadi karena kurangnya pemahaman Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran (P3SPS) dalam melakukan proses produksi program acara.

“Kami ini anti blur. Tetapi bukan berarti proses produksi program siaran boleh dilakukan seenaknya. Produser, kameramen, penulis naskah, editing dan semua yang terlibat dalam proses produksi harus memahami P3SPS, agar tidak perlu dilakukan blur namun program siaran tetap patuh pada koridor regulasi. Blur itu biasanya terjadi karena materi awal yang diproduksi tidak sesuai dengan P3SPS, sehingga ketika sampai di bagian quality control atau QC di stasiun televisi, mereka tidak memiliki pilihan lain kecuali diblur,” jelasnya kepada Peserta Sekolah P3SPS KPI Angkatan XXXV di Kota Kendari.

Menurut Hardly, jika sebuah tayangan atau program sudah sesuai dengan aturan di P3SPS, maka tidak perlu lagi tindakan blur. “Kemungkinan blur itu terjadi ketika lembaga penyiaran mengambil tayangan dari bioskop, karena memang ada perbedaan regulasi perfilman dengan penyiaran,” tambah Koordinator bidang Isi Siarabn KPI Pusat.

Hardly juga menjelaskan definisi kekerasan yang dilarang dalam siaran. Kekerasaan yang dilarang dalam penyiaran itu jika menampilkan secara detail peristiwa kekerasan tersebut, menampilkan manusia atau bagian tubuh berdarah-darah, terpotong, atau kondisi yang mengenaskan akibat peritiwa kekerasan.

“Siaran juga tidak  boleh menampilkan peritiwa dan tindakan sadis terhadap manusia, hewan atau menampilkan adegan memakan hewan dengan cara yang tidak lazim,” jelasnya.

Hal lain seperti ungkapan kasar dan makian, baik secara verbal maupun nonverbal, yang cenderung menghina atau merendahkan martabat manusia, bermakna jorok, mesum dan cabul. “Ini mencakup semua bahasa, baik bahasa Indonesia, daerah maupun bahasa asing,” kata Hardly.

 

Sementara itu, Pemateri yang juga Komisioner KPI Pusat, Nuning Rodiyah, menjabarkan pengaturan tentang siaran bermuatan seksual. Bentuk yang dilarang tampil dalam siaran harus sesuai dengan Standar Program Siaran KPI Pasal 18, Pasal 19, Pasal 22 dan Pasal 57.

Dalam pengaturan muatan seksual pada lembaga penyiaran meliputi larangan adegan ketelanjangan, adegan penggambaran aktivitas seks atau persenggamaan, kekerasan seksual, ciuman bibir, dan kata-kata cabul. Selain itu juga pengaturan tentang muatan seks dalam lagu dan video klip dan juga program program bincang seks hanya dapat disiarkan pada pukul 22.00-03.00 waktu setempat.

Nuning juga menjelaskan hal-hal yang perlu diperhatikan pembuat acara ketika memproduksi tayangan seperti talkshow tentang kesehatan, sinetron, documenter dan acara olahraga. “Hal yang patut jadi catatan adalah jangan melakukan ekploitasi terhadap bagian tubuh seperti atlet atau pakaian presenter karena hal ini akan kena pasal soal kesopanan dan seksualitas,” katanya.

“Selain itu, tentang program siaran berlangganan yang berasal dari saluran-saluran asing dilarang menampilkan hal-hal yang diatur dalam pasal 18 huruf a, b, c, d, f dan l, serta pasal 23 huruf a, b, c, dan e. Pedoman perilaku penyiaran dan standar program siaran,” tambahnya.

 



No comments:

Post a Comment