Monday 29 October 2018

Pelaku Usaha Lokal Ternyata Tak Diajak Bahas Revisi PP PSTE Soal Perubahan Kewajiban Penempatan Data Center

MAJALAH ICT – Jakarta. Para pelaku usaha lokal yang selama ini bermain di data center dan bisnis turunannya seperti cloud computing, hosting, serta lainnya ternyata tak dilibatkan dalam pembahasan draft revisi Peraturan Pemerintah No.82 Tahun 2012 tentang Penyelengaraan Sistem dan Transaksi Elektronik (PP PSTE).

Salah satu yang menjadi perhatian dari draft itu adalah rencana mengubah Pasal 17 yang menyatakan Penyelenggara Sistem Elektronik untuk pelayanan publik wajib menempatkan Pusat Data dan Pusat Pemulihan Bencana di wilayah Indonesia untuk kepentingan penegakan hukum, pelindungan dan penegakan kedaulatan negara terhadap data warga negaranya.

“Saya sudah konfirmasi ke seluruh anggota IDPRO, kami memang belum pernah dilibatkan dalam pembahasan Perubahan PP 82/2012,” tegas Ketua Umum Indonesia Data Center Provider Organizaton (IDPRO) Kalamullah Ramli ketika dihubungi (28/10).

Padahal, mengutip pasal 96 ayat (1) UU Nomor 12 Tahun 2011, masyarakat, baik orang perseorangan atau kelompok yang berkepentingan atas substansi seperti ormas, kelompok profesi, serta LSM diberi hak untuk memberikan masukan secara lisan atau tertulis dalam pembentukan peraturan

Ketua Umum Asosiasi Cloud Computing Indonesia (ACCI) Alex Budiyanto mengungkapkan anggotanya juga tak dilibatkan dalam pembahasan revisi PP tersebut.

“Tak ada anggota kami yang dilibatkan. ACCI tahu ada rencana perubahan ini per bulan April 2018 dan mendapatkannya sudah berupa draft di akhir April 2018. *Kemudian kami* memberikan tanggapan *pada 7* Mei 2018 dan tidak ada respon/balasan balik atas *tanggapan kami* tersebut,” katanya.

Diakuinya, setelah itu memang diajak ke beberapa kegiatan sosialisasi tapi esensi permintaan dari ACCI tentang penempatan data klasifikasi tinggi wajib di wilayah Indonesia tapi bisa mempunyai duplikasi di luar wilayah Indonesia itu, tidak pernah tahu di akomodasi atau tidak, padahal hal ini sudah menjadi titik temu, bisa diterima dan telah diputuskan bersama dengan para cloud service provider anggota ACCI.

“Beberapa hari lalu kami minta draft versi terakhir juga belum dikasih lagi. Ini kami ingin tahu apakah ada perbedaan antara sebelum dan setelah tanggapan kami,” keluhnya.

Sekjen Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII) Henri Kasyfi Soemartono menegaskan posisi dari organisasinya meminta adanya lokalisasi data secara menyeluruh di Indonesia ,” tegasnya.

“Jadi sebenarnya pertanyaannya, apakah PP82 ini perlu di revisi atau hanya kita perjelas saja perbedaan “Wajib Lokalisasi Data” dengan “Wajib menggunakan Data Center Lokal”. Karena yang sebenarnya kita targetkan adalah Lokalisasi Data,” tukasnya.

Sementara Ketua Umum Asosiasi Big Data & AI (ABDI), Rudi Rusdiah menambahkan terkait Data Governance (Tata Kelola) ada dua hal penting yang harus diperhatikan adalah kedaulatan data (lokalisasi) terutama data masyarakat dan transaksi di NKRI dimana akuntabilitas terhadap data oleh penegak hukum dan pelaku usaha serta regulator akan lebih besar jika primary data berada di data centre Indonesia.

Hal lain juga terkait dengan perlindungan data masyarakat, konsumen dan institusi maka sebaiknya minimal data primary berada di data centre di RI. Jika sifatnya terkait infrastruktur kritis dan data strategis maka data sekunder (backupnya) pun harus ada di data centre di wilayah Indonesia.

Akibat sampingannya bisnis Pc Server, power energy UPS, Network Security dan bandwitdh, industri pendukungnya serta SDM akan bertambah besar meningkatkan PDB RI dan mengurangi defisit transaksi berjalan karena ada komponen Tingkat Kandungan Dalam Negeri (TKDN) lebih besar. Nah, apabila tidak ada industri dan asosiasi industri dari Indonesia yang dilibatkan, lantas mengakomodasi siapa sehingga perubahan tersebut perlu dilakukan?

 



No comments:

Post a Comment