Monday 30 November 2020

Revolusi Agri-Tech di Tengah Resesi Ekonomi Tidak Menarik Bagi Investor?

MAJALAH ICT – Jakarta. Indonesia Economic Forum yang ke 7 mempertemukan para pemimpin politik, bisnis, pemerintah, pemrakarsa dan pemimpin komunitas untuk membahas visi Indonesia di tahun 2020 untuk memulihkan pertumbuhan ekonomi pasca Covid-19.  

Berkolaborasi dengan HSBC Indonesia untuk ketiga kalinya, Indonesia Economic Forum tahun ini mengusung tema “2020 Vision: Rebooting Economic Growth Post Covid-19.” Setelah mengalami penurunan ekonomi yang tajam sejak Krisis Keuangan Asia, Indonesia sedang berada dalam masa pemulihan perekonomian. Covid-19 telah mempercepat perubahan yang belum pernah terjadi sebelumnya dan telah menciptakan peluang baru.

Di sesi kedua pada hari ketiga ini, para pembicara membahas mengenai “The Agri-Tech Revolution: A Recession-Proof Future For Investors?” yang dimoderatori oleh Nalin K Singh selaku Co-Founder dari Orbit Future Academy.

Pertanian menjadi industri utama di tahun 2018. Investasi di bidang pertanian meningkat lebih dari 40% atau sekitar US$17 miliar dollar AS. Kenaikan mengejutkan dari hanya dua miliar pada tahun 2013. Investor besar seperti Soft Banks, Google, Temasek, dan pendanaan besar lainnya mulai berpartisipasi dalam ledakan investasi pertanian. Indonesia saat ini juga merupakan bagian dari revolusi ini, yang ditandai dengan kemunculan berbagai start-up pertanian.

Menurut Sandiaga Uno selaku Pendiri Inotek Foundation & Seribu Teknopreneur Sejuta Pekerjan (STSP) pandemi ini menjadikan “food is the new internet”. “Makanan merupakan kata kunci saat ini. Pandemi Covid-19 bukan hanya mengenai krisis kesehatan, melainkan ancaman multi-dimensi dalam hal stabilitas persediaan makanan. Meningkatnya tingkat pengangguran akan memunculkan kolerasi antara pendapatan dan dan kemampuan mereka untuk membeli makanan. Dengan adanya teknologi di bidang pertanian, kita dapat menciptakan lapangan kerja sehingga Indonesia memiliki peluang untuk mengisi kesenjangan defisit dan mencegah krisis pangan. Sehingga, kita harus fokus terhadap pertumbuhan  ketahanan pangan dalam negeri, dari tingkat terbesar hingga desa. Saya optimis bawah bangsa kita dapat melipatgandakan kapasitas produksi pangan lokal dengan intervensi teknologi dan tidak hanya dalam hal pupuk atau pembibitan tetapi lebih juga bagaimana kita menciptakan efisiensi.”, kata Sandiaga.

65% dari petani di Indonesia berada di umur lebih dari 50 tahun. Yang menjadi masalah utama adalah bagaimana mereka dapat mengadopsi teknologi ini. “Menurut saya, mereka semua sangat ingin mengadopsi teknologi, hanya saja belum tersedia bagi mereka karena mereka lebih dilihat dan diperlakukan sebagai objek, bukan sebagai subjek. Subjek yang dilihat sebagai orang yang menerima produk tanpa adanya pelatihan yangtepat, tanpa pendampingan, dan tanpa kesinambungan program. Pemerintah seharusnya lebih fokus terhadap hal ini. Selain itu, peran milenial yang dikenal melek teknologi, sangat dibutuhkan disini. Dengan adanya hal tersebut, maka saya pikir dapat memaksimalkan hidupnya agritek di Indonesia.”, tutur Sandiaga.

Berbagai ahli menyebutkan bahwa milenial memiliki peran yang cukup signifikan di bidang agritek, membuat Prof. Kudang Boro Seminar selaku Dekan Departemen Teknik Mesin, Biosistem & Ilmu Komputer, Institut Pertanian Bogor (IPB) menilai bahwa pertanian harus mulai diperkenalkan dan diangkat ke level generasi yang lebih muda atau milenial dan ini menjadi tujuan utama IPB sebagai universitas. Ia juga mengungkapkan bahwa IPB sedang mengembangkan teknologi pertanian.

“Saat ini IPB sedang berusaha untuk memanfaatkan teknologi ke dalam sektor pertanian. Kami melakukan beberapa penelitian untuk dapat memaksimalkan hal tersebut. Seperti yang kita ketahui, para aktor di bidang pertanian masih banyak yang menggunakan teknologi konvensional untuk menjalankan aktivitas mereka dalam bertani. Kami berusaha untuk memanusiakan manusia dengan menciptakan teknologi yang dapat digunakan dengan mudah, sederhana dan bersifat transparan.”, ujar Prof. Kudang.

Terdapat 3 poin utama yang menjadi pertimbangan investors dalam agritek. Chinnu Senthilkumar selaku General Partner & CTO at Exfinity Venture Partners menjabarkan poin-poin tersebut, “Poin yang pertama ialah usia tenaga kerja. Rata-rata usia tenaga kerja di sektor pertanian adalah 45 tahun. Inilah yang menjadi masalah, bagaimana generasi mereka dapat beradaptasi terhadap teknologi? Salah satu cara adalah dengan menarik generasi muda untuk turun ke bidang pertanian. Yang kedua, optimalisasi rantai makanan. Dengan adanya vitual shopping, dapat memaksimalkan pasokan ke berbagai daerah. Hal ini menjadi keuntungan bagi Indonesia yang memiliki pasokan makanan dan pasar yang besar. Ketiga adalag sustainability. Bagaimana cara mereka mengoptimalisasi penggunaan pupuk? efisiensi penggunaan bibit dan lahan? Ini merupakan sebuah isu yang harus dapat diselesaikan secara efektif agar dapat mencapai hasil yang maksimal.”, kata Chinnu.

Kemunculan berbagai start-up yang berfokus di bidang agrikultur, sangat di apresiasi oleh Edward Chamdani selaku Co-Founder & Managing Partner, Ideosource VC dan Gayo Capital, Indonesia. Akan tetapi, menurutnya kebanyakan dari start-up tersebut hanya berfokus pada downstream agrikultur. “Saya melihat bahwa pasar dan permintaan di Indonesia memang tinggi, tetapi isu yang sesungguhnya ada di supply atau pasokan. Mengapa tidak berfokus terhadap upstream? Bagaimana mengenai optimalisasi teknologi dalam lapangan pertanian? Saya berharap bahwa di 3-5 tahun ke depan, kita dapat melihat peningkatan industrialisasi di bidang pertanian.”, tutur Edward.

Isu ini ditimpali oleh Vijay Sambamurthi selaku Founder and Managing Partner, Lexygen yang berpendapat bahwa, “Menurut saya, pendekatan agritek yang dapat diadopsi di Indonesia adalah “intermediate ties the whole sector”. Dalam artian, menghubungkan petani secara langsung dengan bisnis yang menjadi target untuk mereka atau langsung dengan konsumen yang mengonsumsi produk mereka. Selain itu, saya juga melihat bahwa Indonesia telah melakukan beberapa reformasi regulasi, seperti dengan penerbitan Omnibus Law yang mengatur mengenai proses registrasi, lisensi, rantai pasokan, pengiriman dan sebagainya. Saya telah melihat banyak revolusi pertanian, sangat disayangkan bahwa revolusi agritek yang seharusnya memiliki dampak positif yang besar, kurang mendapat perhatian diantara revolusi lainnya.”, Kata Vijay.

Indonesia Economic Forum adalah platform multi-stakeholder yang mempertemukan semua pihak. Indonesia Economic Forum memiliki visi untuk mempromosikan kemajuan ekonomi dan sosial Indonesia dengan mengidentifikasi tren dan peluang. Sejak didirikan pada tahun 2014, setiap tahun Indonesia Economic Forum telah melibatkan pemerintah Indonesia, masyarakat sipil, komunitas bisnis, akademisi dan organisasi pemuda dalam forum tahunan.

Tahun ini, Forum Indonesia Economic Forum menjadi forum virtual terbesar di Indonesia, dan dihadiri oleh 1.000 peserta dari Amerika Serikat, Australia, India, Singapura, Thailand, Malaysia dan Indonesia. Melalui platform digital, Indonesia Economic Forum telah menjangkau lebih dari 3.000 pemimpin eksekutif dan bisnis senior serta lebih dari satu juta pengikut di Indonesia.



No comments:

Post a Comment