Monday 20 January 2020

Surat Terbuka untuk Menkominfo dan Presiden Jokowi Guna Mendapatkan Ekonomi Digital

MAJALAH ICT – Jakarta. Bappenas mengusung tagar “Transformasi Digital” di dalam rencana pembangunan jangka menengah nasional. Demikian disampaikan oleh Deputy Kepala Bappenas dalam beberapa acara dialog nasional dan juga dalam acara HUT Mastel ke-26, pada 12 Desember kemarin. Memang sudah seharusnya demikian, karena Presiden Jokowi telah berulang kali memberi arahan bahwa Indonesia perlu melakukan lompatan yang luar biasa untuk bisa sejajar dengan bangsa-bangsa besar dunia. Dan lompatan itu hanya dapat dilakukan dengan memanfaatkan teknologi terkini sesuai dengan perkembangan jamannya, yakni TIK (teknologi informasi & komunikasi).

Presiden pun telah mencanangkan Making Indonesia 4.0 untuk sektor Perindustrian yang tentu akan memerlukan infrastruktur digital berupa jaringan telekomunikasi/internet. Bukti lain bahwa Presiden Jokowi bersungguh-sungguh untuk melakukan lompatan dalam mengejar ketertinggalan Indonesia adalah diterbitkannya Perpres 95 tahun 2018 tentang Sistem Pemerintahan Berbasis Elektronik (SPBE) dan PP 80 tahun 2019 tentang Perdagangan Melalui Sistem Elektronik (PMSE), serta PP 71 tahun 2019 tentang Penyelenggaraan SIstem Transaksi ELektronik (PSTE, yang kontroversial).

Sayang sekali, komitmen yang demikian bagusnya itu melupakan satu hal yang sangat penting, yaitu penyiapan dan penataan infrastruktur digital yang berupa jaringan kabel darat, kabel laut di dalam negeri, kabel laut ke/dari luar negeri, gerbang nasional, puluhan hingga ratusan ribu BTS, jutaan WiFi, jutaan tiang kabel telepon/internet, dst. Perpres 95/2018, PP 80/2019, dan PP 71/2019 memiliki requirement spek jaringan yang berbeda karena beda peruntukan dan beda tuntutan keamanan & ketahanan siber-nya. Sungguh hal yang satu ini sangat urgent untuk mendapat perhatian Pemerintah (Pusat & Daerah).

Untuk saat ini, penetrasi akses komunikasi/internet melalui jaringan seluler telah sukup tinggi (di atas 90%), meski kualitasnya masih tidak merata. Sedang penggelaran jaringan kabel optik (fiber optik) belum merata. Pemerataan kabel optik dan penata-kelolaannya amat diperlukan untuk peningkatan kualitas akses komunikasi/internet. Luasnya wilayah Indonesia dan besarnya kesenjangan ekonomi dan sosial antara kota dan desa, antara Jawa dan Luar Jawa; serta Indonesia Barat dan Timur, menjadi tantangan terberat bagi pemerataan penggelaran akses internet dan percepatannya. Maka, amat diperlukan strategi dan perencanaan yang komprehensif, harmonis, dan terpadu.

Sejak telekomunikasi/internet termasuk dalam daftar WTO sehingga dilepas kepada para pelaku bisnis dengan persaingan bebas, tampak seolah Pemerintah melepas kepada mekanisme pasar begitu saja tanpa memberikan directive (arah kebijakan) dan strategi. Padahal semua negara besar selain Indonesia, sangat giat menata infrastruktur digital ini dengan kebijakan dan strategi yang sangat terang. Bukti bahwa Indonesia tidak memberi perhatian adalah tidak dicantumkannya peran penting Jaringan Telekomunikasi dalam Rencana Pembangunan Nasional. Jaringan komunikasi/internet yang dibangun oleh para penyelenggara jaringan dan jasa Swasta & BUMN selama lebih dari 20 tahun terakhir. Hal ini tidak sejalan dengan semangat Presiden dan para Menteri yang kompak berpidato tentang Ekonomi DIgital, Transformasi Digital, Indonesia 4.0, dst.

Peran strategis para Penyelenggara Telekomunikasi yang telah membangun infrastruktur digital dan layanan/jasa di seluruh wilayah Indonesia, mendapat perlakukan seolah seperti pelaku bisnis biasa; seolah seperti pebisnis membangun shopping mall. Ironisnya, dalam perencanaan Bappenas, pembangunan/penyediaan infrastruktur digital digambarkan hanya oleh satu badan pelaksana USO (universal service obligation) yang anggarannya berasal dari iuran kontribusi seluruh penyelenggara telekomunikasi. Sehingga memberi kesan seolah yang membangun seluruh infrastruktur digital nasional adalah unit kerja ini. Padahal badan pelaksana USO ini adalah unit kerja di bawah Kementerian Kominfo yang dibentuk untuk menampung dan mengelola iuran 1,25% dari pendapatan kotor (gross revenue) seluruh penyelenggara jaringan & jasa telekomunikasi. Dengan dana berskala hanya 1,25% dari skala usaha penyelenggara Swasta & BUMN, badan pelaksana USO ini mengkoordinasi penyediaan jaringan komunikasi/internet di semua wilayah USO seluruh Indonesia. Sebagai bagian dari Pemerintah/Regulator, badan pelaksana USO seharusnya bersifat koordinatif mengharmonikan para penyelenggara yang ada, bukan bertindak sebagai penyelenggara telekomunikasi yang berkompetisi dengan para pelaku industri penyetor Iuran kontribusi USO.

Kelemahan mendasar ini harus segera dibenahi agar rencana besar Presiden Jokowi dan Kabinet Indonesia Maju dapat dijalankan dan mencapai hasil yang maksimal. Pemerintah terbantu oleh sektor Swasta dan BUMN telekomunikasi dalam membangun infrastruktur digital nasional. Sungguh ini merupakan bentuk kerjasama Pemerintah dan Swasta yang amat layak mendapat apresiasi dan disinergikan dengan jauh lebih baik. Bahkan konsep Iuran kontribusi USO hanya ada di sektor telekomunikasi; Iuran gotong royong bersama membangun infrastruktur telekomunikasi/internet di wilayah-wilayah yang kurang ekonomis (kurang layak komersial), tanpa membebani APBN.

Penulis : Nonot Harsono

Mantan Komisioner BRTI dua-periode 2009~2015
 Kabid. Infrastruktur Broadband MASTEL.

 

Loading...



No comments:

Post a Comment