Thursday 30 January 2020

Wawancara Eksklusif dengan Nonot Harsono: Industri Telekomunikasi Sedang Tidak Sehat

MAJALAH ICT – Jakarta. Sosok satu ini tidak asing lagi di industri telekomunikasi Indonesia. Ya, Nonot Harsono merupakan Anggota Badan Regulasi Telekomunikasi Indonesia dua periode, 2009-2012 dan 2012-2015. Saat ini Nonot aktif di Masyarakat Telekomunikasi Indonesia (MASTEL).

Majalah ICT berkesempatan berdiskusi dan menggali pandangan lelaki berkumis ini mengenai perkembangan terkini industri telekomunikasi Indonesia.

Berikut ini hasil wawancara kami:

Bagaimana pandangan Anda mengenai industri telekomunikasi Indonesia saat ini, khususnya layanan bergerak seluler?


Industri telko khususnya seluler sedang tidak sehat karena beberapa situasi, yaitu Populasi smartphone semakin banyak sehingga menuntut kapasitas jaringan akses yg jauhlebih besar dibanding sebelumnya. Jenis konten yang diakses masyarakat beralih dari voice & teks menjadi video & musik yang ukurannya jauh lebih besar; sehingga semakin menuntut kapasitas jaringan yg sangat besar. Peningkatan kapasitas (daya tampung) jaringan bisa dilakukan dengan menambah jumlah BTS; jumlahnya ribuan, padahal kekuatan finansial operator sedang menurun; maka menjadi masalah yang serius; yaitu konsumen menuntut penambahan ribuan BTS, di saat operator sedang lemah kemampuan investasinya, tidak mampu membangun ribuan BTS tambahan.

Karena sangat lambat untuk dapat menambah BTS, maka operator kehilangan peluang untuk mendapatkan peningkatan trafik pelanggan; sehingga peluang menambah revenue terlewatkan. Di sisi lain, persaingan harga yang brutal telah menurunkan harga trafik data menjadi jauh di bawah harga yang sehat, sehingga terjadi ironi yang parah, yaitu trafik meningkat tinggi hingga ratusan persen, namun revenue hanya naik belasan persen atau bahkan turun. 

Di tengah situasi yang sudah sulit itu, platform/apps menyediakan aplikasi yang berfungsi sama dengan layanan komunikasi voice & sms yang merupakan sumber revenue utama para operator seluler; maka volume trafik voice & sms pun menjadi turun drastis; sehingga revenue para operator menjadi semakin cepat berkurang. Akumulasi dari semua itu menjadikan operator seluler semakin hari semakin tidak sehat.

Bagaimana pandangan Anda terkait konsep mobile infrastructure sharing? Apakah sisi positif dan negatif yang mungkin muncul dari implementasi mobile infrastructure sharing?


Sesuai kaidah ilmiah jaringan telekomunikasi, seharusnya infrastructure-sharing menjadi kebijakan utama dan mindset utama dari para operator agar biaya investasi/pembangunan itu menjadi murah. Dalam konsep/prinsip regulasi, jaringan itu adalah layer fisik yang secara natural harus seminimal mungkin jumlah pemainnya agar tidak terjadi banyak masalah antara lain gangguan kepada masyarakat selama penggelaran, buruknya estetika ruang (terutama di kota-kota), pemborosan biaya & utilisasi rendah, overlapping kabel dan BTS di lokasi yg sama, berebut hanya di area yg ramai pemakai, … ini semua sangat merugikan bagi negara dan masyarakat, dan merugikan para pelaku usaha sendiri.

Sebenarnya yang dipersaingkan adalah layanan di setiap jenisnya. Meski ada logika persaingan di kualitas jaringan, namun jika dipahami bahwa kualitas jaringan ini adalah prasyarat wajib bagi semua yang menyediakan layanan, maka tentu dengan membangun infrastruktur secara bersama- sama, justru akan diperoleh jaringan yang terbaik kualitasnya; yang siap digunakan oleh semua penyedia jasa.

Terlebih lagi jika infrastructure-sharing terjadi pada jaringan berbasis radio, maka akan terjadi efisiensi spektrum frekuensi radio yang sangat tinggi. Satu BTS yang dioperasikan dengan lebar pita frekuensi yang lebih lebar akan memiliki kapasitas yang lebih besar dibandingkan dengan dua BTS dioperasikan dgn dua pita frekuensi yg terbagi dua. Bayangkan, dgn biaya hanya 1 BTS, akan didapat kapasitas yg cukup utk 2 operator, sehingga masing-masing operator hanya perlu dana investasi setengah daripada jika membangun sendiri-sendiri; ditambah bonus interferensi yang sangat menurunan karena jumlah BTS menjadi jauh lebih sedikit. Maka infrastructure-sharing di saat para operator sedang “wajib berhemat” dan sedang “wajib menambah BTS” dan masyarakat sedang “menuntut akses yg lebih cepat”; kebijakan dan tindakan infrastructure-sharing adalah jalan keluar yang sangat bijaksana. Tidak ada sisi negatif sama sekali, meski ada pihak yang keliru paham bahwa infrastructure-sharing ini bertentangan dengan prinsip kompetisi; ini keliru besar. Kompetisi bukan jor-joran lomba membangun infrstruktur fisik jaringan.

Bagaimana Anda memandang urgensi mobile infrastructure sharing terkait dengan industri telekomunikasi Indonesia saat ini ? Apakah memang perlu diterapkan dan kenapa?

Di saat para operator sedang sangat tidak sehat, mereka sedang “wajib berhemat” dan sedang “wajib menambah BTS” dan masyarakat sedang “menuntut akses yg lebih cepat”; kebijakan dan tindakan infrastructure-sharing adalah jalan keluar yang sangat bijaksana. Dengan infrastructure- sharing, pemandangan Kota menjadi lebih elok, jaringan menjadi lebih rapih dan berkualitas, dan masyarakat dapat menikmati akses internet yang lebih nyaman (QoE menjadi lebih baik). 


Dalam perspektif ekonomi nasional, negara indonesia ini adalah negara konsumen teknologi. Jika semua operator diwajibkan membangun sendiri, maka berarti Pemerintah mendorong belanja/ impor perangkat jaringan minimal 2xlipat atau beberapa kali-lipat dari yang semestinya bisa dihemat. Dengan kata lain, Pemerintah sedang meerugikan dirinya sendiri dan menyebabkan defisit neraca perdagangan yang besarnya trilliunan rupiah. Hal ini harus segera di-akhiri, apalagi ekonomi nasional sedang sangat berat.

Terkait dengan mobile infrastructure sharing, menurut Anda bagaimana?

Sudah cukup jelas diuraikan di atas. Tidak perlu lama-lama lagi menimbang. Langsung action dengan mengundang semua operator dan menyepakati mekanisme pelaksanaannya. Soal kesiapan infrastruktur dan industri terkait implementasi mobile infrastructure sharing, sudah siap, karena infra-sharing ini bukan menambah, tetapi justru memadukan yang ada dan membangun bersama yang belum ada; utamanya di daerah yg belum tersedia layanan. Kebijakan ini akan mempercepat penggelaran di area-area yang belum tersedia akses telepon dan internet; termasuk di banyak wilayah produktif dan resort pariwisata, bahkan di Pulau Jawa.

Regulasi yang perlu disesuaikan untuk memfasilitasi mobile infrastructure sharing ada dau kelompok utama, yaitu jaringan & fasilitas pendukung jaringan yang non-radio
, dan jaringan yang berbasis radio (yg menggunakan spektrum frekuensi radio).

Untuk regulasi baru yang diperlukan untuk memfasilitasi mobile infrastructure, yaitu regulasi yang membolehkan spektrum-pooling (menggabungkan dua atau lebih spektrum yang dikelola oleh dua atau lebih dari dua operator) & spectrum-sharing. Ditambah penegasan bahwa spektrum-pooling dan spectrum-sharing ini tidak menambah kewajiban membayar BHP-pita frek radio. Kewajiban BHP-pita frek para operator tetap seperti yang dibayarkan saat ini.

5G membutuhkan persyaratan teknis dan non-teknis yang lebih kompleks dibandingkan pendahulunya (2G, 3G, dsb). Menurut Anda, seberapa jauh peran mobile infrastructure sharing dalam mendukung implementasi 5G ? 


Setidaknya ada 2 technical concern yang perlu diperhatikan di dalam jaringan 5G, yaitu fakta bahwa jumlah BTS pada jaringan 5G akan menjadi sangat banyak karena saat itu akan menggunakan Small-cells (radius kecil) dan fakta teknis bahwa 1 TRX generasi 5G idealnya mendapat alokasi pita frekuensi yang besar, misal 100MHz contigous, sebagai prasyarat agar diperoleh kualitas throughput EMBB & URLL.

Jumlah BTS yang sangat banyak, meskipun berukuran kecil dipasang pada pole-pole kecil di sepanjang jalan, jika dikalikan jumlah operator seluler, ditambah lagi dengan jutaan Wi-Fi akses, maka dapat dibayangkan betapa akan sangat bermasalah dengan aturan estetika ruang kota dan efisiensi investasi. Dengan logika simpel ini, tentu semua harus sepakat bahwa infrastructure- sharing adalah wajib.

Kebutuhan alokasi spektrum yang relatif jauh lebih lebar dari generasi sebelumnya, sedangkan yang ada pada masing-masing operator terpecah pada beberapa pita frekuensi; maka satu-satunya cara memperoleh alokasi pita frekuensi yang lebar adalah dengan menggabungkan alokasi pita frekuensi dari semua operator. Seberapa maksimal kebutuhan teknis itu dapat terpenuhi, tentu diperlukan kajian bersama yang komprehensif namun tidak perlu waktu yang lama. Dengan logika sederhana ini pula, maka infrastructure sharing, spectrum-sharing, dan spectrum-pooling adalah kebijakan yang benar-benar bijak dan sangat siap untuk segera dilaksanakan.

Menurut pandangan Anda, seberapa jauh mobile infrastructure sharing dapat dimplementasikan di Indonesia, apakah harus mencakup urban dan rural ataukah hanya diimplementasikan di wilayah dengan karakteristik terentu ? skema seperti apa yang mungkin diimplementasikan di setiap kategori wilayah tersebut ?


Fakta di lapangan menunjukkan bahwa masalah utama terhambatnya infra-sharing adalah masalah perasaan ingin saling membunuh, bukan masalah teknis ataupun alasan ekonomis. Jadi, tinggal diupayakan untuk mengubah mindset “spirit saling membunuh, menjadi saling menghidupi”. Kompetisi yang baik adalah Fastabikul Khairat (:berlomba-lomba dalam Kebaikan), yang berkhianat dihukum berat.

Saat ini, para raksasa dunia (Google, Facebook, Amazon, Apple, Microsoft, netflix) sedang agresif membangun jaringan mereka sendiri, meninggalkan para operator jaringan yang telah membuat mereka besar selama ini. Jika para operator nasional ini masih saja tidak mau bersatu dan segera meng-integrasi-kan atau meng-konsolidasi-kan jaringan mereka, maka 5-10 tahun ke depan bisa jadi semuanya akan berakhir tragis. Tidak ada lagi jaringan nasional, tergantikan oleh jaringan global….. si GAFAM (Google, Amazon, Facebook, Apple, Microsoft
) atau mungkin si FAANG (Facebook, Amazon, Apple, Netflik, Google).

Infrastructure-sharing itu harus mencakup semua ruas jaringan dan fasilitas pendukungnya, karena yang dilakukan raksasa platform/apps global adalah pasti seperti itu dalam rangka meminimalkan latency jaringan, memaksimalkan kualitas jaringan, memudahkan operation & maintenance, dan efisiensi investasi. Sebagai gambaran yang mudah, jika indonesia akan menyambut era 5G, maka harus paham prinsip bahwa “tidak akan pernah tercapai jaringan 5G tanpa menata jaringan fiber optik nasional hingga rapih”. Mustahil tercapai jaringan berkelas EMBB & URLL apabila pita frekuensi untuk BTS-5G hanya selebar yang saat ini dikelola masing-masing operator.

Dengan alasan-alasan itu, masih adakah tersisa ego untuk bertahan tidak mau duduk bersama merancang jaringan nasional secara bersama-sama; untuk bisa menyehatkan usaha semuanya dan untuk mengantisipasi dominasi dari raksasa global yang tidak lama lagi akan mengintegrasikan jaringan mereka.

Pemerintah dapat memberi contoh awal melalui pelaksanaan USO, yakni dengan menyatakan bahwa di dalam wilayah USO hanya ada satu jaringan tunggal untuk semua. Bahwa di wilayah USO, semua spektrum frekuensi digabungkan dan dikelola oleh Pemerintah untuk semua operator & penyedia jasa telekomunikasi Indonesia.

 

Loading...



No comments:

Post a Comment