Saturday 26 August 2017

Mencari Formula Jitu Atur Bisnis OTT (Bagian 1)

MAJALAH ICT – Jakarta. Layanan over the top atau layanan berbasis aplikasi, bukan barang baru di republik ini. Layanan seperti Facebook sudah hadir hampir sejak 10 tahun lalu, yang bahkan YouTube sudah lebih dulu menjadi layanan yang dinikmati masyarakat Indonesia untuk melihat berbagi video. Namun, persoalan ‘pembagian’ kue yang semua dicaplok OTT yang mayoritas dan didominasi asing tersebut, baru mengemuka beberapa tahun belakangan. Sebab ternyata, meski bisnis OTT besutan pebisnis raksasa internet yang sebut saja Google, Facebook, Twitter dan lainnya, Indonesia tidak mendapat kue ekonomi digital ini meski cuma secuil pun. Kasus mengemuka ketika Direktorat Jenderal Pajak mengejar Google akan kewajiban pajak yang belum ditunaikan.

Kementerian Komunikasi dan Informatika dinilai kurang cepat untuk menerapkan aturan kewajiban Badan Usaha Tetap (BUT) bagi penyedia layanan konten dan aplikasi asing atau yang dikenal dengan over the top (OTT). Karena itu, pihak Direktorat Jenderal Pajak mendesak agar Kominfo menyegerakan kehadiran aturan ini agar OTT asing tersebut dapat dikenakan pajak. Seperti dikatakan Iwan Djuniardi, Direktur Transformasi Teknologi Komunikasi dan Informasi, Direktorat Jenderal Pajak.

Menurut Iwan, saat ini banyak pemain over the top (OTT) dan e-commerce asing yang seringkali menghindar dari kewajiban membayar pajak. Hal itu ditengarai karena murang cepatnya Kominfo merampungkan RPM tentang Penyediaan Layanan Aplikasi atau Konten Melalui Internet agar seluruh pemain OTT dan e-commerce asing.
Ditegaskan Iwan, selama ini ada sikap tidak fair dalam memperlakukan pemain asing dan lokal karena pemain lokal lebih dominan dibebankan pajak dibandingkan dengan pemain dari luar negeri. “Ini tidak fair, karena pengusaha lokal membayar pajak, sementara yanga asing tidak. Kemkominfo harus segera membuat BUT. Kita tidak bisa apa-apa karena yuridiksi mereka ada di luar negeri,” yakinnya.

Jika aturan tersebut sudah keluar, maka jika ada pemain OTT asing yang menghindar dari kewajiban pajak, namun tetap beroperasi di Indonesia, maka Kementerian Kominfo memiliki kewajiban untuk melakukan pemblokiran terhadap pemain asing tersebut. “Hanya Kominfo yang bisa melakukan pemblokiran jika masih ada pemain asing yang tidak mau membayar pajak,” ujarnya.

Jadilah Google kemudian menjadi sasaran pertama. Dan kini, urusan pajak Google nampaknya telah selesai. Meski disebut-sebut angka yang diharapkan didapat tidak sebesar yang dibayarkan, hanya sekitar Rp. 200 miliar saja. Walau begitu, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menandaskan, setelah selesai dengan isu pajak Google, pemerintah akan mengejar pembayaran pajak dari perusahaan OTT (over the top) sektor informasi dan teknologi berbentuk Badan Usaha Tetap (BUT) yang beroperasi di Indonesia. Ini menurutnya, merupakan bentuk komitmen pemerintah dalam meningkatkan kepatuhan pembayaran pajak dan pembayaran pajak perusahaan BUT tersebut.

“Jadi, kalau mereka beroperasi di sini, mereka jadi obyek pajak. Kalau subyeknya itu mau dia ada di dalam negeri maupun di luar negeri, itu tidak jadi soal,” kata Sri Mulyani. Untuk itu, dirinya akan segera berkoordinasi lagi dengan Menteri Komunikasi dan Informatika Rudiantara untuk mengatur soal BUT OTT tersebut. Hal itu, katanya, karena kebijakan OTT keluar dari Menkominfo. “Kalau itu kebijakan dari Menkominfo, karena mereka subyek pajak karena ada aktivitasnya di sini,” katanya.

Sri Mulyani juga menyampaikan bahwa Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan (DJP Kemenkeu) telah berhasil mendapat kesepakatan pembayaran pajak dari Google. Adapun kesepakatan tersebut merupakan pembayaran pajak atas Surat Pemberitahuan (SPT) Tahunan 2016 berdasarkan ketentuan Pajak Penghasilan (PPh) Badan. Sayangnya, Sri Sri Mulyani enggan menyebutkan berapa besaran pajak tersebut, apakah berdasarkan penghitungan secara mandiri (self-assessement) Google atau berdasarkan perhitungan dari DJP Kemenkeu yang telah disepakati kedua pihak.

“Kami sudah ada pembahasan dengan mereka dan sudah ada suatu agreement berdasarkan SPT 2016, tapi karena ini sesuatu yang sifatnya rahasia, maka tidak dapat dilakukan satu perusahaan atau wajib pajak membayar berapa,” yakinnya.

Beberapa waktu lalu. pas pertemuan Google dan Direktorat Jenderal Pajak, walapun terkesan tertutup namun secara tersirat Ditjen Pajak sudah menyampaikan ‘angka damai’ yang menjadi kewajiban pajak Google di Indonesia. Angka tagihan pajak untuk Google berdasarkan data yang diberikan Direktur Akuntansi Google Indonesia. Dalam angka tagihan tersebut komponen denda sebesar 150 persen dihilang, sehingga angka yang ditetapkan ini bisa disebut sebagai angka damai.

 



No comments:

Post a Comment