Thursday 28 February 2019

Mastel dan Industri Pertanyakan Dasar Kajian Akademik Perubahan PP No.82/2012 yang dilakukan CfDS UGM


MAJALAH ICT – Jakarta.  Menanggapi Seminar Diseminasi Hasil Riset Klasifikasi Data di Era Komputasi Awan, di The Sultan Hotel Jakarta, yang digelar beberapa waktu lalu sebagai  merupakan kolaborasi Kementerian Komunikasi dan Informatika dengan Center for Digital Society (CfDS) yang merupakan lembaga riset dibawah Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Gadjah Mada, Mastel dan Industri Data Center di Indonesia mempertanyakan dasar kajian akademik yang dipakai sebagai dasar perubahan Peraturan Pemerintah No.82 Tahun 2012.

Sebab dinilai, hasil riset CfDS diberi judul white paper Transformasi Digital Indonesia di Era Komputasi Awan: Rekomendasi Aturan Klasikasi Data Sektoral dalam Menyongsong Revisi PP 82/2012 muncul di tengah gencarnya masyarakat industri berusaha menyampaikan masukan kepada Pemerintah bahwa substansi perubahan PP 82/2012 dalam draft yang dibuat Kementerian Kominfo dapat merugikan Indonesia, terlebih saat memasuki era Industri 4.0.

Dalam pandangan Mastel dan Industri, yang disampaikan dalam keterangan pers-nya, hal tersebut menimbulkan opini adanya konflik kepentingan dan diragukan objektifitas kajiannya, karena Dedy Permadi yang saat ini menjabat sebagai Tenaga Ahli Menteri Komunikasi dan Informatika Bidang Kebijakan Digital, juga merupakan Managing Director CfDS dan editor tunggal dari white paper tersebut, yang berarti terlibat langsung dalam penyusunannya.

 

Teddy Sukardi selaku Sekjen IDPRO mempertanyakan objektivitas white paper dari CfDS tersebut, “Yang kami rasakan dari kajian yang ada adalah bahwa uraian dan bahasan itu kurang berimbang karena belum secara lengkap mempertimbangkan kepentingan kepentingan jangka panjang terkait kedaulatan data dan kemandirian penyediaan jasa teknologi informasi. Sejauh kami tahu pelaku usaha data center dan cloud belum dimintai pandangannya dan belum menjadi sumber informasi bagi penelitian. Itu sebabnya obyektifitasnya patut kami pertanyakan”, tegasnya.

Heru Sutadi selaku Executive Director, Indonesia ICT Institute berharap Akademisi dalam mengeluarkan hasil riset harus obyektif dan mengedepankan kepentingan nasional, “Kami menghimbau akademisi dalam mengeluarkan hasil riset haruslah obyektif dengan data-data yang bisa dipertanggungjawabkan serta dengan menggunakan metodologi yang benar, jangan membuat hasil riset berdasarkan pesanan, apalagi pesanan bagi kepentingan asing, ini bahaya sekali”, ujarnya.

Irwin Day selaku Sekjen FTII menyampaikan keprihatinannya terhadap hasil kajian tersebut. “Kajian akademis harusnya memberikan pandangan yang jernih dan tidak berpihak terhadap sebuah persoalan terlepas siapapun sponsornya. Jika yang dikaji adalah industri data center dan cloud computing maka sebaiknya yang menjadi sumber kajian adalah para pelaku industri tersebut di dalam negeri. Jika sumbernya hanya merujuk satu arah maka keabsahan kajian tersebut perlu dipertanyakan. Apalagi kajian tersebut menjadi dasar sebuah kebijakan nasional yang berpengaruh besar pada kepentingan nasional.”, tegasnya.

Henri Kasyfi, selaku Sekjen APJII, berharap Kemkominfo dalam memilih konsultan sebagai pendukung kebijakannya bisa lebih transparan dan obyektif, “Kemkominfo sebaiknya lebih transparan terhadap alasan pemilihan konsultan yg kemudian mengeluarkan white paper guna perubahan suatu peraturan pemerintah. Selain transparansi, juga dibutuhkan multi white paper dari multi konsultan untuk dijadikan dasar perubahan suatu peraturan agar terpenuhi unsur objektivitas. Akan lebih baik lagi apabila pemilihan konsultan semacam ini juga melibatkan multi stakeholder dari asosiasi-asosiasi industri terkait. APJII selalu siap mendukung Kemkominfo dalam pembentukan regulasi yang memang dapat mendukung pertumbuhan industri digital / Internet lokal Indonesia, bukan sebaliknya”, ujarnya.

Alex Budiyanto selaku Ketua Umum ACCI menyampaikan harapannya agar para akademisi tidak menjadi alat bagi kepentingan asing, “Jelas bahwa kepentingan asing itu adalah untuk membuka akses seluas-luasnya bagi produk atau layanannya di Indonesia dengan biaya seminimal mungkin, apabila data dan proses bisa dilakukan di luar Indonesia, ini adalah akses pasar yang sangat luas bagi mereka untuk mengeruk keuntungan sebesar-besarnya di Indonesia, tanpa perlu mereka berinvestasi ataupun berkontribusi buat ekonomi Indonesia, ini harus dipahami oleh para akademisi supaya tidak menjadi alat bagi tujuan mereka”, tegasnya.

Djarot Subiantoro selaku Ketua Umum ASPILUKI menyampaikan bahwa industri digital di Indonesia bisa dan telah memanfaatkan layanan komputasi awan atau data center di Indonesia, “Untuk industri perangkat lunak dan digital di Indonesia, sangat bisa memanfaatkan layanan komputasi awan ataupun data center yang ada di Indonesia, terdapat penyedia-penyedia layanan komputasi awan yang bersertifikasi di Indonesia dengan jangkauan harga yang kompetitif, bahkan terdapat global provider yang mempunyai pusat data di Indonesia, ini tentu bisa dimanfaatkan, jadi kalau CfDS menihilkan hal ini, bisa jadi memang tidak atau belum memasukkannya dalam kajian”, ujarnya.

Direktur Eksekutif MASTEL, Arki Rifazka, menyampaikan “MASTEL mengajak CfDS untuk melakukan kajian bersama yang lebih menyeluruh melihat kepentingan nasional Indonesia menyongsong era industri 4.0. Masih amat banyak aspek strategis yang belum dibahas di dalam kajian CfDS yang bersama Kemkominfo sehingga MASTEL menilai white paper itu belum layak digunakan sebagai rekomendasi revisi PP 82 yang sangat strategis bagi NKRI”.

 

Loading...



No comments:

Post a Comment