Sunday 31 December 2017

Hanya Dua Bulan Setelah Proses Lelang, Mesin Sensor Internet Itu Kini Telah Berfungsi

MAJALAH ICT – Jakarta. Kementerian Kominfo dalam program tahun 2017 ini mengadakan sistem pendukung berupa sistem yang diantaranya berupa mesin pengais “crawling” konten negatif. Keberadaan sistem tersebut telah diserahterimakan dari PT. INTI kepada Kementerian Kominfo. Selama beberapa hari sistem dan mesin pengais tersebut telah diujicoba dan berfungsi serta siap untuk diaktifkan. Oleh masyarakat, mesin ini lebih sering disebut sebagai mesin sensor internet.

Menteri Kominfo Rudiantara telah melakukan pengecekan fungsinya dengan mencoba fungsi Mesin Pengais Konten Negatif yang berapa pada Kementerian Kominfo tersebut. “Sejak kemarin mesin crawling atau mesin pengais konten negatif ini telah berfungsi. Malam ini saya mengecek. Dengan Mesin ini maka kita mendapatkan kecepatan dan volume yang besar dalam mengecek mana-mana konten negatif. Kemampuannya memberikan dokumentasi yang baik,” papar Rudiantara.

Dalam kesempatan tersebut, Dirjen Aplikasi Informatika Semuel Abrijani Pangerapan “Semmy” menjelaskan sebelum secara resmi diserahterimakan, mesin tersebut telah diujicoba. Hasilnya, kecepatan mencari situs-situs porno jauh lebih cepat dari sebelumnya. Mesin  ini bekerja sangat efektif dalam mencari konten negatif kemudian mengidentifikasi masuk kategori mana konten negatifnya. Suatu konten negatif dapat dilihat langsung seberapa besar pengaruh atau impactnya  dalam dunia siber.  “Awal tahun 2018 mesin akan diaktifkan untuk melakukan pencarian konten-konten negatif. Sekali Mengais, mesin ini dapat memberikan hasil berupa URL atau tautan yang bisa jutaan dan langsung mengklasifikasi”, tegas Dirjen yang akrab dipanggil Semmy.

Selanjutnya Semmy menambahkan “dalam tiga hari ini, mesin ini mampu mendeteksi sekitar 120 ribu situs porno dari Indonesia, itu hasil dari 1,2 juta alamat internet yang `dicrawling.  “Bayangkan sementara yang berjalan dalam beberapa tahun ini kami baru menapis 700 ribu lebih situs porno. Mesin pengais konten negatif ini juga dapat dimanfaatkan oleh lembaga-lembaga pengatur sektor dalam mendukung pelaksanaan tugasnya. Bukan hanya Kominfo, bisa dikoordinasikan dengan BNPT kalau mencari konten berbau teroris, dengan OJK konten investasi bodong, obat-obat yang tidak berizin dengan BPPOM, penjualan narkoba melalui internet dengan BNN, bukan hanya untuk kebutuhan Kominfo,” tegas Semmy.

Hadir dalam acara tersebut perwakilan dari PT. INTI dan Kementerian BUMN yang ingin memastikan PT. INTI selaku penyedia sistem melakukan pekerjaannya dengan baik.

Sebagaimana diketahui, PT Industri Telekomunikasi Indonesia (INTI) resmi ditetapkan sebagai pemenang tender Belanja Modal Peralatan dan Mesin Pengadaan Sistem Monitoring dan Perangkat Pengendali Situs Internet Bermuatan Negatif atau yang dikenal dengan e-sensor. INTI menjadi pemenang tender dengan nilai administrasi 80, pada Oktober lalu.

Dari lelang yang diikuti 72 peserta, INTI menjadi satu-satunya peserta yang lolos evaluasi administrasi, evaluasi teknis dan evaluasi kualifikasi. PT Inti menang lelang dengan memberikan harga penawaran Rp 198.611.683.606 dan harga terkoreksi Rp 194.059.863.536 dengan skor 70 dan skor akhir 94.

Proyek e-sensor yang disebut akan melakukan deep inspection terhadap lalu lintas trafik internet di Indonesia ini diadakan oleh satu kerja Direktorat Jenderal Aplikasi Informatika, Kementerian Komunikasi dan Informatika.

Di kalangan masyarakat pengguna internet, proyek ini menjadi pertanyaan mengingat akan bahaya pelanggaran privasi yang ditimbulkan dan pembatasan akses internet yang dinilai bertentangan denga kebebasan akses berkomunikasi.

Selain itu, pengadaan yang dilakukan hanya kurang dari tiga bulan sebelum tahun anggaran 2017 berakhir juga menimbulkan tanda tanya, mengingat proses pengadaan dan pengiriman barang yang membutuhkan waktu hingga 8 minggu lebih. Tambah lagi, INTI diketahui bukanlah perusahaan yang dalam kurun beberapa waktu terakhir menghasilkan produk terkait dengan e-sensor. Produk terakhir INTI adalah RFID yang digunakan untuk monitoring BBM bersubsidi yang kemudian gagal diterapkan.

Tender e-sensor digadang-gadang sebagai upaya untuk terus mengembangkan infrastruktur TIK. Hal ini sejalan dengan upaya pengembangan ekonomi digital Indonesia yang memiliki beberapa isu penting pada peta e-commerce seperti sumber daya manusia, funding, perlindungan konsumen, pajak, logistik, keamanan cyber, payment, dan infrastruktur TIK.

Meski sudah ditetapkan sebagai pemenang yang sah, lelang ini sendiri memiliki sejumlah kejanggalan sejak awalnya. Berikut ini daftar kejanggalan proyek sensor internet ini:

  1. Tidak jelas tujuan. Proyek ini merupakan proyek Belanja Modal Peralatan dan Mesin Pengadaan Sistem Monitoring dan Perangkat Pengendali Situs Internet Bermuatan Negatif. Pemerintah yang dalam hal ini Direktorat Jenderal Aplikasi Informatika tidak dapat menyampaikan secara jelas tujuan pengadaan proyek, kecuali untuk memblokir konten yang bersifat pornografi. Yang jadi pertanyaan, apakah harus dengan pengadaan belanja modal yang besar untuk memblokir pornografi
  2. Malu-malu soal sensor internet. Dirjen Aplikasi dan Informatika Kominfo, Semuel Abrijani Pangerapan membantah informasi tersebut bahwa peralatan ini dipakai untuk sensoro. “Informasinya salah. Ini pengembangan dari Trust +,” ujarnya. Sistem Trust + menerapkan mekanisme kerja adanya server pusat yang akan menjadi acuan dan rujukan kepada seluruh layanan akses informasi publik (fasilitas bersama), serta menerima informasi-informasi dari fasilitas akses informasi publik untuk menjadi alat analisis dan pemprofilan penggunaan internet di Indonesia. Namun meski dibantah, soal sedot internet tidak dapat dihindari. Profil trafik yang diakses dan disebar publik sedot dengan perangkat ini, yang kemudian dianalisis. Inilah yang kemudian bahwa perangkat ini akan melakukan deep packet inspection, yang sesungguhnya secara undang-undang dilarang karena setara dengan penyadapan atau perekaman informasi.
  3. Pagu lelang besar. Nilai lelang ini diakui atau tidak cukup besar, mencapai Rp. 211 miliar, meskipun nilai akhir lelang adalah sekitar Rp. 194 miliar. Inilah jelas merupakan pemborosan di tengah masyarakat masih butuh akses internet, khususnya di wilayah Timur Indonesia dan daerah terluar dan terpencil.
  4. Proses lelang hanya menyisakan satu peserta. Lelang memang diikuti 72 peserta. Namun, dengan seleksi administrasi, hanya ada 1 peserta yang maju ke babak pembukaan sampul harga. Dengan hanya satu peserta, maka tidak ada kompetisi harga untuk mendapatkan penawaran lebih murah. Normalnya, dengan satu peserta saja yang melaju ke babak pembukaan penawaran harga, lelang dapat dibatalkan da dibuka proses lelang baru.
  5. Waktu pelaksanaan mepet. Dengan penetapan pemenang lelang pada minggu kedua Oktober, maka waktu pelaksanaan implementasi proyek adalah sekitar 8 minggu saja. Dalam kondisi normak, untuk pengadaan barang dibutuhkan waktu sekitar 6 minggu untuk pemesanan barang, dan 2 – 4 minggu untuk pengiriman barang ke Indonesia. Ini artinya, pemenang lelang sangat optimis dapat menyediakan barang dalam waktu sekitar 6 minggu dan 2 minggu untuk instalasi.
  6. Pemenang lelang sesuai dengan aturan tidak diperkenankan untuk menyerahkan pekerjaan pada pihak lain. Namun, pihak kementerian mengatakan hal itu bisa dilakukan, sebab yang akan dibayar adalah sepanjang pernagkat tersedia dan bekerja. Hal ini menyeruak karena diketahui bahwa PT INTI tidak cukup dikenal dalam memproduksi perangkat terkait keamanan informasi.
  7. Saat ini, Direktorat Keamanan Informasi pada Ditjen Aptika Kementerian Kominfo secara de jure sudah ditarik ke Badan Siber dan Sandi Negara (BSSN). Dan, proyek ini sesungguhnya menjadi domain dari BSSN. Pengadaan lelang yang tidak menunggu terbentuknya BSSN yang dijadwalkan pada bulan-bulan ini, membuat daftar tambahan kejanggalan proyek ini karena mungkin BSSN memiliki spesifikasi berbeda akan perangkat yang dibutuhkan dan toh akan kemudian diserahkan pada BSSN.

 



No comments:

Post a Comment