Tuesday 26 December 2017

Kaleidoskop ICT 2017 – Januari: Darurat Hoax, Kementerian Kominfo Kocar-Kacir

MAJALAH ICT – Jakarta. Kondisi komunikasi di media sosial saat ini rentan terhadap konflik, sehingga beberapa media mengatakan Indonesia “Darurat Hoax”. Kemajuan teknologi memberikan kemudahan terhadap akses informasi yang lebih beragam dan cepat, namun kelemahannya berdampak pada akurasi dari informasi tidak menjadi prioritas. Tantangan tersebut menjadi pekerjaan rumah bagi pemerintah untuk kembali menata pengelolaan komunikasi dan informasi.

Lewat Focus Group Discussion “Pemetaan Permasalahan Komunikasi dan Informasi” yang dihadiri oleh perwakilan Patria Ginting (Tim Komunikasi Presiden), Whisnu (Kantor Staff Presiden), Nukman Luthfie (Pakar Medsos), Ismail Fahmi (Founder Awesometric) dan Freddy H Tulung (Pakar Komunikasi) yang diharapkan dapat memetakan permasalahan informasi dan komunikasi.

Direktur Jenderal Informasi dan Komunikasi Publik (IKP) Kemkominfo, Rosarita Niken Widyastuti menyampaikan saat ini media sedang bermetamorfose dengan perkembangan IT, perkembangan politik dan perkembangan ekonomi yang pada akhirnya mengubah budaya berkomunikasi, terutama dalam kehidupan dunia maya yang berdampak pada relasi kehidupan nyata. “Tentu hal tersebut memberikan efek pada kepentingan-kepentingan nasional. Konflik sangat mungkin terjadi di media sosial yang dapat berdampak pada dunia nyata”, katanya.

“Literasi pada masyarakat, menggandeng orang-orang aktif dimedia sosial yang bersebrangan dan pembekalan terhadap humas pemerintan mengenai kehidupan media sosial urgent dilakukan”, disampaikan oleh Nukman Lutfi, Pakar Media Sosial.
Hal tersebut pun diamini oleh Wishnu, “Proses literasi perlu dilakukan tidak hanya pada masyarakat namun juga pada aparatur pemerintah untuk mengindari kekacauan komunikasi”.

Freddy H Tulung menyatakan perlunya edukasi literasi secara terus menerus yang harus dilakukan pemerintah dan masyarakat, “Masyarakat tidak hanya diedukasi untuk menseleksi sebelum sharing namun menciptakan masyarakat yang produktif dalam berkomunikasi,” kata Freddy.

Patria menyampaikan bahwa literasi dapat dimulai dengan mengecek pada sumber-sumber media mainstream sebelum dishare. “Perlu ada upaya untuk menggiring masyarakat untuk kembali percaya pada media-media mainstream diluar permasalahan kapitalisme media”, ungkap Patria.

Hal tersebut sesuai dengan data yang disampaikan Nukman, bahwa sebagian besar generasi muda saat ini lebih memilih mencari informasi di media sosial dibanding media mainstream.

“Proses demokrasi tetap perlu dijaga melalui proses counter narrative yang kredibel secara cepat dengan bahasa medsos, menjalin dengan komunitas medsos dan rutin melakukan act checking via situs,” timpal Ismail Fahmi.

Sementara itu, pada kesempatan berbeda Direktur Jenderal Aplikasi Informatika Kementerian Komunikasi dan Informatika Semuel Abrijani. “Karena ini adalah informasi yang berseliweran, yang tidak punya dasar. Kalau kita telat blokir, bisa merugikan masyarakat,” kata Semuel.

Dirjen yang diangkat dari kalangan non PNS ini menambahkan, di era digital, penyebaran informasi akan sangat cepat. Sehingga, situs penyebar hoax tidak bisa didiamkan. Karena itu, pemblokiran yang dilakukan pihaknya, dinilai hanya sebagai peringatan atau warning sebelum proses hukum lebih jauh dijalankan.

Menurut Mantan Ketua Umum Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII) ini, ke depan Kementerian di bawah Rudiantara ini tidak ingin hanya memblokir situs hoax, namun pelaku di balik situs hoax akan diproses hukum. “Kami ingin orang bertanggung jawab terhadap apa yang dia tulis. Kalau memang benar produk jurnalistik, akan dilindungi oleh Undang-Undang Pers,” tandas Semmy, panggilan akrabnya.

Untuk melawan hoax, secara bersamaan di 7 kota Jakarta, Bandung, Semarang, Solo, Wonosobo, Jogjakarta dan Surabaya berlangsung “Deklarasi Anti Hoax” yang berlokasi di pusat keramaian Car Free Day sehingga Masyarakat siapapun dapat berpartisipasi dan menorehkan tandatangannya ikut serta mendeklarasikan diri untuk menjadi bagian masyaraat anti hoax. Kegiatan in diprakarsai oleh Masyarakat Indonesia Anti Hoax, yang dipimpin oleh Septiaji Eko Nugroho. Pemerintah, dalam hal ini Kementerian Kominfo sangat mendukung kegiatan dan gerakan masyarakat indonesia yang anti hoax. Oleh karena itu, Menkominfo Rudiantara, Dirjen Aplikasi Informatika Semuel Abrijani Pangerapan dan Dirjen Informasi Kebijakan Publik Niken beserta masyarakat telekomunikasi dan informatika lainnya ikut hadir dalam rangkaian kegiatan yang sangat bermanfaat ini. Tentu rekan-rekan wartawan dan rekan-rekan media, pegiat media sosial serta para tokoh dan kalangan selebriti turut serta dan berkontribusi sangat besar mendorong gerakan anti hoax ini.

Pada kesempatan ini juga diluncurkan situs TURNBACKHOAX.ID oleh gerakan Masyarakat Indonesia Anti Hoax dan Aplikasi mobile TURNBACKHOAX oleh Mastel (Masyarakat Telekomunikasi dan Informatika Indonesia). Dengan Situs dan Aplikasi tersebut kalangan Netizen dapat menyampaikan apapun berita, informasi, meme baik dari media situs atau mediasosial yang isinya HOAX. Masyarakat juga dapat memberikan penjelasan atau bukti-bukti bahwa laporan-laporan HOAX yang ada di TURNBACKHOAX adalah HOAX dengan cara memberikan penjelasan, bukti-bukti hoax nya dan sebagainya. Dengan demikian, masyarakat akan memperoleh informasi yang lebih jelas HOAX nya suatu informasi itu. Saat ini masyarakat sering sulit membedakan apakah suatu informasi itu HOAX atau tidak, juga bagaimana mencari kebenaran atau cek riceknya. Nah, TURNBACKHOAX.ID dan Aplikasinya ini dpaat menjadi sumber referensi bagaimana HOAXnya suatu Informasi.

Masyarakat Indonesia Anti Hoax menggelar kegiatan sosialisasi sekaligus deklarasi Masyarakat Anti Hoax  di kawasan car free day dengan pusat kegiatan di depan gedung BCA Tower, Jalan MH Thamrin itu akan digelar pada pukul 06.00 – 11.00 WIB. Selain penandatanganan deklarasi, acara tersebut akan diisi oleh sejumlah kegiatan, yaitu orasi oleh para Duta Anti Hoax antara lain artis Olga Lydia, sineas Nia Dinata, psikolog Ratih Ibrahim dan pegiat antikorupsi Judhi Kristantini. Ada juga pemutaran video tentang hoax,games, senam pagi, tari-tarian, pembagian pin Turn Back Hoax, serta lomba foto Instagram.

Ketua Masyarakat Indonesia Anti Hoax Septiaji Eko Nugroho mengatakan, kegiatan ini merupakan aksi simpatik untuk mengajak seluruh masyarakat agar peduli dan bersama-sama memerangi persebaran informasi hoax yang marak di media sosial. “Banyak informasi hoax yangviral di media sosial kemudian memicu keributan bahkan merembet menjadi kerusuhan fisik. Hal ini bukan saja menghabiskan energi, namun juga berpotensi mengganggu keamanan nasional,” ujarnya.

Septiaji menambahkan, acara sosialisasi dan deklarasi tersebut bukan hanya dilangsungkan di Jakarta, namun serentak di enam kota. Lima kota lain yang akan menggelar acara sosialisasi dan deklarasi anti hoax yaitu Surabaya, Semarang, Solo, Wonosobo, dan Bandung.

“Generasi milenial merupakan yang paling rentan terhadap bahaya hoax, sangat disayangkan kalau Indonesia yang harusnya bisa menikmati bonus demografi di 2030 nanti justru diisi oleh orang-orang yang tidak cerdas dalam bermedia sosial,” tandas Septiaji.
Septiaji mengatakan, deklarasi serentak di enam kota ini merupakan bagian dari program memerangi dan membersihkan media sosial dari informasi hoax, fitnah maupun yang bersifat hasutan. Sejumlah langkah yang telah dilakukan di antaranya merangkul pemimpin maupun tokoh-tokoh masyarakat untuk menjadi duta anti hoax, penandatanganan Piagam Masyarakat Indonesia Anti Hoax, membentuk relawan dan deklarasi relawan anti hoax di daerah, dan berkolaborasi dengan sejumlah komunitas berjejaring maupun lembaga pemerintah, antara lain Kepolisian Republik Indonesia dan Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo) dalam hal penegakan hukum.

“Kami juga menyiapkan code of conductberkomunikasi dengan cerdas di media sosial, gerakan literasi media ke masyarakat, roadshow ke institusi pendidikan, seperti kampus, sekolah pesantren, ormas, ulama dan pemuka agama, budayawan dan banyak lagi,” imbuh Septiaji.

Menurut Septiaji, upaya-upaya yang telah dilakukan sejak Penandatanganan Piagam Anti Hoax pada 1 Desember 2016 itu setidaknya sudah membuahkan hasil. Sejumlah tokoh masyarakat saat ini telah bergabung dan menjadi Duta Anti Hoax, di antaranya, intelektual Muslim Prof. Dr. Azyumardi Azra, M.A. dan Prof. Dr. Komaruddin Hidayat, Sekretaris Jendral Keuskupan Agung Jakarta Rm V. Adi Prasodjo PR, sineas Nia Dinata, sastrawan Goenawan Mohamad, pegiat sosial Anita Wahid, tokoh anti korupsi Erry Riyana Hardjapamekas, Ekonom Destry Damayanti, Ketua Majelis Wali Amanat Institut Teknologi Bandung (ITB) Betti Alisjahbana, praktisi dan pemerhati hukum pidana La Ode Ronald Firman, Nezar Patria dan juga Dewan Pers, serta para pegiat media sosial.

“Saat ini juga sudah terbentuk relawan-relawan anti hoax di beberapa daerah. Berdasarkan pantauan kami, jumlah aduan mengenai berita hoax yang masuk ke situs TurnBackHoax.id sudah mencapai ratusan ribu dalam sebulan terakhir. Ini menandakan gerakan anti hoax sudah mulai berdampak ke masyarakat,” papar Septiaji.

Rencana akan memantau percakapan di media sosial. Namun, sebelum memulai untuk memata-matai pengguna medsos, Komisi I DPR lebih dulu meminta klarifikasi dari Menkominfo Rudiantara mengenai hal ini.

Ketua Komisi I DPR RI Abdul Kharis Almasyhari menyatakan pihaknya meminta klarifikasi kepada Rudiantara mengenai rencana pemerintah yang memantau percakapan di media sosial, saat DPR RI telah masuk masa sidang pada awal Januari 2017 ini. Ditegaskan Abdul Kharis, DPR perlu mengetahui terlebih dahulu bagaimana metode pengaturan dari pengawasan percakapan dari pemerintah.

Menurutnya, pihak pemerintah dan Komsi I belum pernah membahas pemantauan percakapan masyarakat lewat media sosial itu dalam rapat kerja dengan komisi I DPR RI. “Belum dibahas. Saya mau cek dulu ke Pak Menteri Kominfo,” katanya.

Ada informasi bahwa pemerintah tidak hanya akan memantau percakapan di media sosial, namun juga aplikasi chatting seperti WhatsApp, Line, dan BlackBerry Messenger. Pada aplikasi itu, dianggap banyak juga ujaran kebencian, provokatif, hingga informasi hoax dan fitnah yang disebarkan melalui aplikasi chatting. Menteri Komunikasi dan Informatika Rudiantara mengakui, pemantauan di aplikasi chatting ini lebih sulit dilakukan karena sifatnya lebih privat. Namun, bukan berarti pemantauan tidak bisa dilakukan. Hanya saja, penanganan yang dilakukan berbeda dari media sosial seperti Facebook, Twitter dan Instagram.

Rudiantara mengatakan, melalui aplikasi chatting, biasanya menyebar informasi atau pesan yang bersifat provokasi dan kebohongan dari satu kontak ke kontak yang lain. Kemenkominfo sendiri, katanya, sudah mempunyai metode untuk melacak siapa pihak pertama yang menyebarkan informasi tersebut. Nantinya, jika diperlukan, Kemenkominfo bisa melapor kepada kepolisian untuk melakukan penindakan hukum.

MUI: Langkah Muncur Demokrasi

Majelis Ulama Indonesia (MUI) menilai bahwa pemblokiran 11 situs media Islam yang dilakukan Menteri Komunikasi dan Informatika Rudiantara sebagai langkah mundur demokrasi. Seharusnya pemblokiran situs harus melalui proses hukum lebih dulu.

Demikian dikatakan Zainut Tauhid Saadi, Wakil Ketua Umum MUI. “Karena negara kita adalah berdasar atas hukum. Tidak boleh hanya dengan pendekatan kekuasaan semata. Ini melanggar hak asasi manusia tentang jaminan kebebasan dalam berpendapat dan bereskspresi yang sudah jelas dilindungi konstitusi,” katanya.

Menurutnya. langkah Menkominfo bisa menjadi pro-kontra meskipun berdalih memberantas paham radikal dan terorisme. Pasalnya Kemkominfo belum memberikan penjelasan terkait batasan pengertian paham radikal yang dimaksud. “Seharusnya Kominfo membicarakan hal tersebut sebelum mengambil langkah tegas, meskipun telah mendapat masukan dari Badan Nasional Penanggulangan Terorisme,” ujar Tauhid. “Pemblokiran situs Islam tersebut tentu mengundang reaksi umat Islam karena hal ini sangat sensitif,” tambahnya.

Umat Islam bereaksi, lanjutnya, hal itu karena pemblokiran situs Islam sangat menyinggung perasan umat Islam dimana tidak semua situs Islam membawa paham radikal yang mengarah kepada terorisme. “Kenapa situs agama lain yang juga memiliki paham radikal, provokatif dan anti NKRI berdibiarkan dan tidak diblokir? Semua agama ketika berbicara masalah keyakinan, akidah atau yang bersifat dogmatis, pasti bersifat benar atau salah. Jadi harus ada penjelasan dan batasan yang jelas dari pengertian paham radikal itu sendiri,” sergahnya.

Sehubungan dengan hal tersebut, MUI meminta Kominfo mengevaluasi kebijakannya, dan mengharapkan untuk membuka ruang dialog sebelum melakukan pemblokiran terhadap situs apa pun khususnya yang bersifat keagamaan. Tujuannya, agar dalam bertindak memiliki basis argumentasi yang jelas dan dapat dipertanggung jawabkan secara hukum.

Sebagaimana diketahui, Kementerian Kominfo memblokir 11 situs karena dianggap menebarkan fitnah dan kebencian. Ke-11 tersebut meliputi:
1. voa-islam.com
2. nahimunkar.com
3. kiblat.net
4. bisyarah.com
5. dakwahtangerang.com
6. islampos.com
7. suaranews.com
8. izzamedia.com
9. gensyiah.com
10. muqawamah.com
11. abuzubair.net.

 



No comments:

Post a Comment