Saturday 30 December 2017

Kaleidoskop ICT 2017 – Oktober: Meski Kontroversi, PT INTI Menang Pengadaan Sensor Internet Kementerian Kominfo

MAJALAH ICT – Jakarta. PT Industri Telekomunikasi Indonesia (INTI) resmi ditetapkan sebagai pemenang tender Belanja Modal Peralatan dan Mesin Pengadaan Sistem Monitoring dan Perangkat Pengendali Situs Internet Bermuatan Negatif atau yang dikenal dengan e-sensor. INTI menjadi pemenang tender dengan nilai administrasi 80.

Dari lelang yang diikuti 72 peserta, INTI menjadi satu-satunya peserta yang lolos evaluasi administrasi, evaluasi teknis dan evaluasi kualifikasi. PT Inti menang lelang dengan memberikan harga penawaran Rp 198.611.683.606 dan harga terkoreksi Rp 194.059.863.536 dengan skor 70 dan skor akhir 94.

Proyek e-sensor yang disebut akan melakukan deep inspection terhadap lalu lintas trafik internet di Indonesia ini diadakan oleh satu kerja Direktorat Jenderal Aplikasi Informatika, Kementerian Komunikasi dan Informatika.

Di kalangan masyarakat pengguna internet, proyek ini menjadi pertanyaan mengingat akan bahaya pelanggaran privasi yang ditimbulkan dan pembatasan akses internet yang dinilai bertentangan denga kebebasan akses berkomunikasi.

Selain itu, pengadaan yang dilakukan hanya kurang dari tiga bulan sebelum tahun anggaran 2017 berakhir juga menimbulkan tanda tanya, mengingat proses pengadaan dan pengiriman barang yang membutuhkan waktu hingga 8 minggu lebih. Tambah lagi, INTI diketahui bukanlah perusahaan yang dalam kurun beberapa waktu terakhir menghasilkan produk terkait dengan e-sensor. Produk terakhir INTI adalah RFID yang digunakan untuk monitoring BBM bersubsidi yang kemudian gagal diterapkan.

Sebagaimana diketahui, Kementerian Komunikasi dan Informatika tengah menggelar lelang Belanja Modal Peralatan dan Mesin Pengadaan Sistem Monitoring dan Perangkat Pengendali Situs Internet Bermuatan Negatif. Dalam situs resmi LPSE Kominfo dinyatakan nilai pagu anggaran untuk mesin sensor internet ini  Rp 211 miliar.

Tender e-sensor digadang-gadang sebagai upaya untuk terus mengembangkan infrastruktur TIK. Hal ini sejalan dengan upaya pengembangan ekonomi digital Indonesia yang memiliki beberapa isu penting pada peta e-commerce seperti sumber daya manusia, funding, perlindungan konsumen, pajak, logistik, keamanan cyber, payment, dan infrastruktur TIK.

Meski sudah ditetapkan sebagai pemenang yang sah, lelang ini sendiri memiliki sejumlah kejanggalan sejak awalnya. Berikut ini daftar kejanggalan proyek sensor internet ini:

  1. Tidak jelas tujuan. Proyek ini merupakan proyek Belanja Modal Peralatan dan Mesin Pengadaan Sistem Monitoring dan Perangkat Pengendali Situs Internet Bermuatan Negatif. Pemerintah yang dalam hal ini Direktorat Jenderal Aplikasi Informatika tidak dapat menyampaikan secara jelas tujuan pengadaan proyek, kecuali untuk memblokir konten yang bersifat pornografi. Yang jadi pertanyaan, apakah harus dengan pengadaan belanja modal yang besar untuk memblokir pornografi
  2. Malu-malu soal sensor internet. Dirjen Aplikasi dan Informatika Kominfo, Semuel Abrijani Pangerapan membantah informasi tersebut bahwa peralatan ini dipakai untuk sensoro. “Informasinya salah. Ini pengembangan dari Trust +,” ujarnya. Sistem Trust + menerapkan mekanisme kerja adanya server pusat yang akan menjadi acuan dan rujukan kepada seluruh layanan akses informasi publik (fasilitas bersama), serta menerima informasi-informasi dari fasilitas akses informasi publik untuk menjadi alat analisis dan pemprofilan penggunaan internet di Indonesia. Namun meski dibantah, soal sedot internet tidak dapat dihindari. Profil trafik yang diakses dan disebar publik sedot dengan perangkat ini, yang kemudian dianalisis. Inilah yang kemudian bahwa perangkat ini akan melakukan deep packet inspection, yang sesungguhnya secara undang-undang dilarang karena setara dengan penyadapan atau perekaman informasi.
  3. Pagu lelang besar. Nilai lelang ini diakui atau tidak cukup besar, mencapai Rp. 211 miliar, meskipun nilai akhir lelang adalah sekitar Rp. 194 miliar. Inilah jelas merupakan pemborosan di tengah masyarakat masih butuh akses internet, khususnya di wilayah Timur Indonesia dan daerah terluar dan terpencil.
  4. Proses lelang hanya menyisakan satu peserta. Lelang memang diikuti 72 peserta. Namun, dengan seleksi administrasi, hanya ada 1 peserta yang maju ke babak pembukaan sampul harga. Dengan hanya satu peserta, maka tidak ada kompetisi harga untuk mendapatkan penawaran lebih murah. Normalnya, dengan satu peserta saja yang melaju ke babak pembukaan penawaran harga, lelang dapat dibatalkan da dibuka proses lelang baru.
  5. Waktu pelaksanaan mepet. Dengan penetapan pemenang lelang pada minggu kedua Oktober, maka waktu pelaksanaan implementasi proyek adalah sekitar 8 minggu saja. Dalam kondisi normak, untuk pengadaan barang dibutuhkan waktu sekitar 6 minggu untuk pemesanan barang, dan 2 – 4 minggu untuk pengiriman barang ke Indonesia. Ini artinya, pemenang lelang sangat optimis dapat menyediakan barang dalam waktu sekitar 6 minggu dan 2 minggu untuk instalasi.
  6. Pemenang lelang sesuai dengan aturan tidak diperkenankan untuk menyerahkan pekerjaan pada pihak lain. Namun, pihak kementerian mengatakan hal itu bisa dilakukan, sebab yang akan dibayar adalah sepanjang pernagkat tersedia dan bekerja. Hal ini menyeruak karena diketahui bahwa PT INTI tidak cukup dikenal dalam memproduksi perangkat terkait keamanan informasi.
  7. Saat ini, Direktorat Keamanan Informasi pada Ditjen Aptika Kementerian Kominfo secara de jure sudah ditarik ke Badan Siber dan Sandi Negara (BSSN). Dan, proyek ini sesungguhnya menjadi domain dari BSSN. Pengadaan lelang yang tidak menunggu terbentuknya BSSN yang dijadwalkan pada bulan-bulan ini, membuat daftar tambahan kejanggalan proyek ini karena mungkin BSSN memiliki spesifikasi berbeda akan perangkat yang dibutuhkan dan toh akan kemudian diserahkan pada BSSN.

 

 

 



No comments:

Post a Comment