Tuesday 26 December 2017

Kaleidoskop ICT 2017 – Januari: Pemerintah Sudah Bisa Lacak Penyebar Pertama Hoax dan Ujaran Kebencian

MAJALAH ICT – Jakarta. Menkominfo Rudiantara mengklaim bahwa pemerintah bisa melacak dari mana sumber berita hoax dan ujaran kebencian berasal. Termasuk yang tersebar lewat aplikasi chatting seperti WhatsApp, Line dan BlackBerry Messenger. Hal itu karena pihaknya sudah mempunyai metode untuk melacak siapa pihak pertama yang menyebarkan informasi tersebut.

“Pokoknya, asalnya dari mana. Bisa ditelusuri ke belakang,” kata Rudiantara. Menurutnya, nantiny  jika diperlukan, Kemenkominfo bisa melapor kepada kepolisian untuk melakukan penindakan hukum.

Dijelaskan Chief RA, pemantauan di aplikasi chatting ini lebih sulit dilakukan karena sifatnya lebih privat, tak seperti pemantauan di jejaring sosial seperti Facebook, Twitter, dan Instagram. Namun, bukan berarti pemantauan tidak bisa dilakukan. Hanya saja, penanganan yang dilakukan berbeda.

Menurut Rudiantara, ujaran kebencian, provokatif, hingga informasi hoax dan fitnah saat ini banyak disebarkan melalui aplikasi chatting. Media sosial kan ada media sosial (murni), ada yang chatting. Nah yang chatting penanganannya beda lagi,” kata Rudiantara. Melalui aplikasi chatting, lanjutnya, biasanya menyebar informasi atau pesan yang bersifat provokasi dan kebohongan dari satu kontak ke kontak yang lain. Sementara untuk akun di media sosial, lanjut Rudiantara, pemantauannya akan lebih mudah. Jika kementeriannya menemukan akun yang menyebar kebencian dan fitnah, maka sudah dipastikan akun tersebut langsung diblokir.

Sementara itu, Direktorat Reskrimsus Polda Metro Jaya mendeteksi ada ribuan akun media sosial dan media online yang menyebarkan informasi hoax, provokasi hingga SARA. Direktur Reskrimsus Polda Metro Jaya Kombes Pol Wahyu Hadiningrat mengatakan, pihaknya terus melakukan upaya patroli siber untuk menelusuri akun-akun tersebut. Dan hingga kini, sudah ada 300 akun dan media online yang diblokir.

“Untuk pelaku-pelaku yang dimaksud, tindakan-tindakan melakukan hoax dan sebagainya, bahkan ratusan kita sudah proses, kita identifikasi, yang sekarang masih berproses,” kata Wahyu.Ditambahkannya, mayoritas akun-akun medsos yang menyebarkan berita hoax, provokasi dan SARA itu adalah akun anonim.

Meski demikian, pihak kepolisian sejauh ini belum menemukan indikasi adanya akun yang terorganisir. “Belum sampai ke sana kita, kita masih  menyelidiki siapa yang melakukan, pribadi itu yang kita proses,” imbuh Wahyu. Namun ia tidak menepis bahwa dari sekian banyak akun anonim tersebut, administratornya masih pelaku yang sama. “Ada beberapa yang kemarin sudah kita rilis bahkan sudah kita rilis perkara yang itu,” cetusnya.Perkembangan media sosial yang ada, lanjut Wahyu, menjadi salah satu faktor penyebab semakin banyak penyebaran berita hoax atau pun yang bersifat provokatif dan berbau SARA. “Ya memang kita semua bisa lihat kan kondisinya, trennya seperti itu. Sehingga kita lakukan itu yang namanya cyber patrol, di samping, ada laporan dari masyarakat,” terang dia.

Sementara itu, Kasubdit Cyber Crime Ditreskrimsus Polda Metro Jaya AKBP Roberto Gomgom Pasaribu menambahkan, dari 300-an akun yang sudah diblokir terkait konten penyebaran informasi hoax, isu SARA dan provokasi, permintaan blokir diajukan ke Kementerian Kominfo atau penyedia jasa layanan web terkait. “Kita ajukan blokir karena terkait kontennya, jadi ada juga yang sudah dibuka, setelah konten yang dianggap melanggar UU dihapus. Untuk akun-akun robot atau bot account yang bersifat provokatif juga kita ajukan blokir. Dan pemblokiran ada pada penyedia jasa webnya atau penyedia jasa jaringan internetnya,” jelasnya.

Mengenai motif, Roberto menyebutkan motif penyebaran hoax cukup beragam. “Ada yang motifnya politik, ada yang motifnya ekonomi. Kalau motif ekonomi, dia bagaimana semakin sering dikunjungi halaman, masuk page mereka itu menambah keuntungan secara ekonomis bagi mereka,” paparnya. Sementara hoax menjelang Pilkada DKI Jakarta, Roberto mengungkapkan saat ini mulai menurun. “Jika sebelum-sebelumnya pelaporan mengenai akun hoax itu mencapai puluhan laporan setiap harinya, menjelang gelaran Pilkada DKI, menurutnya, justru mengalami penurunan sekitar 5-10 dimana sebelumnya bisa 20-30,” pungkasnya.

Media Sosial aka Didenda

Di bulan ini juga, Kementerian Komunikasi dan Informatika menegaskan menerapkan kebijakan denda terhadap media sosial yang tidak mampu menangani berita bohong atau menyesatkan. Direktur Jenderal Aplikasi dan Informatika Kementerian Kominfo, Semuel Abrijani Pangerapan mengatakan, dalam waktu dekat konsep denda kepada media sosial terkait hoax diterapkan di Indonesia.

Dijelaskan Semmy, ide denda kepada media sosial itu berawal dari ketertarikan Menteri Komunikasi dan Informatika Rudiantara yang melihat cara Jerman, dalam mengatasi berita hoax di dunia maya. Sebagaimana diketahui, dalam menangani informais hoax, Jerman mendenda media sosial sebesar 500 ribu Euro atau sekitar Rp.7,5 miliar pada setiap postingan yang mengandung hoax.

“Pak Menteri terinspirasi dengan Jerman, yang akan mendenda media sosial soal berita hoax. Kita terapkan segera,” ungkapnya. Untuk itu, katanya, pihak Kementerian Kominfo pun telah menulis surat kepada media sosial, seperti Facebook maupun Twitter. “Tadinya, mau Pak Menteri yang mau nulis, tetapi diserahin ke saya sebagai Dirjen Aptika,” ungkapkanya.

Ditambahkannya, denda seperti di Jerman merupakan opsi terakhir apabila kerja sama mengatasi penyebaran berita hoax di media sosial masih belum efektif. “Ini berita hoax menyebar di tempatmu masa mau dibiarin,” kata Semmy. Hanya saja, belum dapat informasi kapan kebijakan denda kepada media sosial ini mulai diterapkan di Indonesia, sebab pihak Kominfo masih akan berbicara dulu dengan penyedia platform meedia sosial tersebut.

Informasi dari Jerman, memang saat ini maish dalam proses dihadirkan UU yang mendenda penyedia platform media sosial bilamana media sosial tersebut tidak menghapus postingan yang mengandung berita bohong dalam 24 jam setelah pengguna memberikan flag atau tanda pada informasi yang disebarkan lewat media sosial tersebut. Adapun denda yang akan dikenakan adalah sebesar 500,000 Euro. Perhatian Jerman terjadap kabar bohong ini terpengaruhi isu bagaimana hoax mempengaruhi proses pemilihan presiden di Amerika Serikat, yang kemudian memenangkan Donald Trump.

 



No comments:

Post a Comment